Kamis, 30 September 2010

iklan yang tak beretika

Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menilai, iklan operator telekomunikasi kebablasan. Anggota BRTI, Heru Sutadi, melalui pesan singkat per telepon seluler/ponsel (SMS) di Jakarta, mangatakan iklan layanan telekomunikasi yang ditawarkan penyelenggara telekomunikasi di media cetak, elektronik dan media luar ruang dinilai tidak memberikan informasi yang lengkap sehingga terjadi misinterpretasi di kalangan konsumen, melampaui batas etika dan tidak memberikan nilai pendidikan bagi masyarakat. Iklan tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen, antara lain pada pasal 10 bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif, tawaran potongan harga. Ia menilai, iklan tersebut juga melanggar UU No. 8/1999 pasal 17a yaitu pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, harga barang dan atau tarif, memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa. Selain itu, iklan semacam tersebut melanggar UU No. 8/1999 pasal 17f pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Oleh karena itu, BRTI menginstruksikan, agar para penyelenggara telekomunikasi dalam penyelenggaraan telekomunikasi selain memenuhi ketentuan Undang-Undang Telekomunikasi, juga wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. BRTI juga meminta, agar operator dalam beriklan memperhatikan aturan dan ketentuan berlaku mengenai kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan tepat mengenai harga atau tarif, kondisi dan tawaran potongan harga dari barang dan/atau jasa yang ditawarkan. BRTI juga menginstruksikan, operator dalam beriklan wajib memperhatikan asas manfaat bahwa pembangunan telekomunikasi harus berdaya guna dan berhasil guna sebagai komoditas ekonomi yang dapat Iebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir batin, sebagai sarana pendidikan serta ikut serta dalam proses membangun karakter bangsa. Mengenai iklan ini, BRTI juga telah melakukan diskusi dengan pemangku kepentingan industri telekomunikasi yang dihadiri perwakilan dari Masyarakat Telematika (Mastel), Yayasan Lembaga Konsumen, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) dan Indonesian Telecommunication User Group (IDTUG) yang disimpulkan bahwa iklan telekomunikasi sudah kebablasan. Sebelumnya, Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi di Departemen Komunikasi dan Informatika (Dirjen Postel Depkominfo) yang juga Ketua BRTI, Basuki Yusuf Iskandar, mengritik iklan operator telekomunikasi yang tidak lengkap memberikan informasi kepada masyarakat. “Informasi yang disampaikan operator membingungkan sehingga BRTI akan mengambil langkah yang diperlukan agar mendorong operator memberikan informasi yang lengkap dan tidak distortif,” kata Basuki pada sambutan penyerahan Golden Ring Award untuk dunia industri telekomunikasi (26/3). Basuki mengharapkan, agar para operator telekomunikasi membangun etika di antara komunitas operator seluler. Sedangkan, Presiden Direktur PT Excelcomindo Pratama, Hasnul Suhaimi, mengatakan bahwa pihaknya bersedia dan berbesar hati untuk merevisi iklan XL mereka yang dinilai merendahkan martabat manusia. “Kami bersedia untuk merevisi iklan, kami juga akan bertemu dengan BRTI, tapi saat ini kami belum bertemu dengan mereka,” kata Hasnul usai RUPS XL pada Jumat

SMS Penawaran NSP Tak Beretika




Seringkali kita mendapat  layanan penawaran NSP gratis dari provider yang  di tawarkan kepada pengguna telepon genggam cukup merepotkan sekali karena   secara otomatis pulsa kita berkurang apabila kita tidak cepat-cepat meresponya maka diangganp kita menyetujuinya. Berarti ini bersifat memaksa dan lebih tidak masuk akal lagi kita harus menjawab “NO” lewat sms, karena kalau tidak menjawab akan di kenakan biaya misalnya Rp 3.000/2minggu lalu Rp 3000/minggu.  Cara cara ini sudah sangat melewati batas dan sama sekali tidak mempunyai etika. Dan lebih parahnya  ternyata  dikenakan biaya Rp 350 untuk membalas sebuah sms berisi “NO” tersebut. bisa kita bayangkan berapa milyar keuntungan yang mereka dapat hanya dengan sms yang berisi “NO” tersebut