Jumat, 10 Juni 2011

Partai Politik yang ada di Indonesia (Tahun 2009)

Sumber: http://smartgeneration.wordpress.com/2010/12/14/partai-politik-dan-regenerasi-kepemimpinan-di-indonesia/


Pengertian Partai Politik
Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideology tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infra Struktur Politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai Partai Politik, yakni :
  1. Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
  2. R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
  3. Sigmund Neumann: Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
  4. Miriam Budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

5.      Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai Politik. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik, maka sudah selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai Partai Politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional.
6.      Dengan kondisi Partai Politik yang sehat dan fungsional, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Dengan Partai Politik pula, konflik dan konsensus dapat tercapai guna mendewasakan masyarakat. Konflik yang tercipta tidak lantas dijadikan alasan untuk memecah belah partai, tapi konflik yang timbul dicarikan konsensus guna menciptakan partai yang sehat dan fungsional.
7.      Pentingnya keberadaan Partai Politik dalam menumbuhkan demokrasi harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui hanya Partai Politik yang berhak mengajukan calon dalam Pemilihan Umum. Makna dari ini semua adalah, bahwa proses politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap Partai Politik, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokrasi.
8.      Menumbuhkan Partai Politik yang sehat dan fungsional memang bukan perkara mudah. Diperlukan sebuah landasan yang kuat untuk menciptakan Partai Politik yang benar-benar berfungsi sebagai alat artikulasi masyarakat. Bagi Indonesia, pertumbuhan Partai Politik telah mengalami pasang surut. Kehidupan Partai Politik baru dapat di lacak kembali mulai tahun 1908. Pada tahap awal, organisasi yang tumbuh pada waktu itu seperti Budi Oetomo belum bisa dikatakan sebagaimana pengertian Partai Politik secara modern. Budi Utomo tidak diperuntukkan untuk merebut kedudukan dalam negara (public office) di dalam persaingan melalui Pemilihan Umum. Juga tidak dalam arti organisasi yang berusaha mengendalikan proses politik. Budi Oetomo dalam tahun-tahun itu tidak lebih dari suatu gerakan kultural, untuk meningkatkan kesadaran orang-orang Jawa.
9.      Sangat boleh jadi partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin dan mengejar penambahan anggota, baru lahir sejak didirikan Sarekat Islam pada tahun 1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Selang beberapa bulan, lahir sebuah partai yang di dirikan Douwes Dekker guna menuntut kebebasan dari Hindia Belanda. Dua partai inilah yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal semua Partai Politik dalam arti yang sebenarnya yang kemudian berkembang di Indonesia.
10.  Pada masa pergerakan nasional ini, hampir semua partai tidak boleh berhubungan dengan pemerintah dan massa di bawah (grass roots). Jadi yang di atas, yaitu jabatan puncak dalam pemerintahan kolonial, tak terjangkau, ke bawah tak sampai. Tapi Partai Politik menjadi penengah, perumus ide. Fungsi Partai Politik hanya berkisar pada fungsi sosialisasi politik dan fungsi komunikasi politik.
11.  Pada masa pendudukan Jepang semua Partai Politik dibubarkan. Namun, pada masa pendudukan Jepang juga membawa perubahan penting. Pada masa Jepang-lah didirikan organisai-organisasi massa yang jauh menyentuh akar-akar di masyarakat. Jepang mempelopori berdirinya organisasi massa bernama Pusat Tenaga Rakyat (Poetera). Namun nasib organisasi ini pada akhirnya juga ikut dibubarkan oleh Jepang karena dianggap telah melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi proses politik. Praktis sampai diproklamirkan kemerdekaan, masyarakat Indonesia tidak mengenal partai-partai politik.
12.  Perkembangan Partai Politik kembali menunjukkan geliatnya tatkala pemerintah menganjurkan perlunya di bentuk suatu Partai Politik. Wacana yang berkembang pada waktu itu adalah perlunya partai tunggal. Partai tunggal diperlukan untuk menghindari perpecahan antar kelompok, karena waktu itu suasana masyarakat Indonesia masih diliputi semangat revolusioner. Tapi niat membentuk partai tunggal yang rencananya dinamakan Partai Nasional Indonesia gagal, karena dianggap dapat menyaingi Komite Nasional Indonesia Pusat dan dianggap bisa merangsang perpecahan dan bukan memupuk persatuan. Pasca pembatalan niat pembentukan partai tunggal, atas desakan dan keputusan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya perlu di bentuk Partai Politik sebanyak-banyaknya guna menyambut Pemilihan Umum anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat.
13.  Pada keadaan seperti itulah Partai Politik tumbuh dan berkembang selama revolusi fisik dan mencapai puncaknya pada tahun 1955 ketika diselenggarakan Pemilihan Umum pertama yang diikuti oleh 36 Partai Politik, meski yang mendapatkan kursi di parlemen hanya 27 partai. Pergolakan-pergolakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante hasil Pemilihan Umum telah menyudutkan posisi Partai Politik. Hampir semua tokoh, golongan mempermasalahkan keberadaan Partai Politik. Kekalutan dan kegoncangan di dalam sidang konstituante inilah yang pada akhirnya memaksa Bung Karno membubarkan partai-partai politik, pada tahun 1960, dan hanya boleh tinggal 10 partai besar yang pada gilirannya harus mendapatkan restu dari Bung Karno sebagai tanda lolos dari persaingan.
14.  Memasuki periode Orde Baru, tepatnya setelah Pemilihan Umum 1971 pemerintah kembali berusaha menyederhanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
15.  Nampak sekali bahwa partai-partai yang ada di Indonesia boleh dikatakan merupakan partai yang dibentuk atas prakarsa negara. Pembentukan partai bukan atas dasar kepentingan masing-masing anggota melainkan karena kepentingan negara. Dengan kondisi partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai menjadi wahana artikulasi kepentingan rakyat. Baru setelah reformasi, pertumbuhan Partai Politik didasari atas kepentingan yang sama masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya.
16.  Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena Partai Politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa Partai Politik. Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Keadaan Partai Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses demokrasi.
17.  Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum 2004 digelar dengan bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Dalam perjalanannya, undang-undang ini di anggap belum mampu mengantarkan sistem kepartaian dan demokrasi perwakilan yang efektif dan fungsional. Undang-undang ini juga belum mampu melahirkan Partai Politik yang stabil dan akuntabel. Masyarakat juga masih belum percaya pada keberadaan Partai Politik, padahal fungsi Partai Politik salah satunya adalah sebagai alat artikulasi kepentingan rakyat. Untuk menciptakan Partai Politik yang efektif dan fungsional diperlukan adanya kepercayaan yang penuh dari rakyat. Tanpa dukungan dan kepercayaan rakyat, Partai Politik akan terus dianggap sebagai pembawa ketidakstabilan politik sehingga kurang berkah bagi kehidupan rakyat.
18.  Untuk menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat menaruh kepercayaaan, diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi landasan bagi tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan fungsional. Dengan kata lain, diperlukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem Politik Indonesia yakni Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Setelah berhasil mengganti rejim otoritarian Orde Baru dan menyelenggarakan Pilpres secara langsung pada tahun 2004, banyak pengamat di dalam maupun di luar negeri yang memandang bahwa Indonesia telah mengakhiri periode transisi dan masuk ke periode sistem politik yang demokratis dan stabil. Tetapi kendatipun telah ada Pilpres langsung yang bercirikan konstelasi politik yang berciri sistem multi-partai, pemerintahan yang terdesentralisasi, sistem kawal dan imbang (checks and balances) yang makin baik, dan tuntutan rakyat yang makin terbuka, transisi ke arah sistem pemerintahan yang baik sebenarnya masih terus berlangsung. Dalam hal perumusan kebijakan publik, banyak yang ternyata harus dibenahi. Berlakunya UU No.32/2004 yang disertai dengan PP No.6/2005 yang mengatur tentang Pilkada secara langsung secara prosedural telah membuat sistem pemerintahan di daerah semakin demokratis. Mulai tahun 2005 pergantian kepala daerah, baik Gubernur atau Bupati/Walikota, di seluruh Indonesia telah dilakukan secara langsung. Partai politik (parpol) berperan dalam pencalonan pasangan kepala daerah, lalu rakyat setempat secara langsung memilih dengan prinsip-prinsip Pilkada yang sesuai dengan Pilpres. Peran Parpol yang menguat inilah yang kemudian juga berpengaruh terhadap sistem perumusan kebijakan di daerah. Bagi banyak pengamat semua variabel yang menunjukkan sistem politik yang lebih terbuka merupakan kemajuan yang signifikan. Namun, dari perspektif kebijakan publik gelombang demokratisasi itu ternyata menjadi tantangan tersendiri yang tidak pernah berlaku sebelumnya. Saat ini, situasi dalam pemerintahan lebih sulit dalam menyelesaikan perselisihan tentang kebijakan yang akan diambil. Tidak seperti pada masa Orde Baru yang begitu cepat keputusan diambil karena terbiasa dengan pendekatan kekuasaan, proses kebijakan publik kini lebih terfragmentasi dan untuk sebagian terasa kurang efektif. Kenyataan ini berlaku di tingkat nasional maupun di daerah. Demokrasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan yang lebih partisipatif dan karena itu memberi legitimasi yang lebih kuat terhadap kebijakan yang diambil. Tetapi proses demokrasi juga menuntut kesiapan perumus kebijakan untuk melalui proses politik yang panjang, untuk menggunakan keterampilan negosiasi, serta kesediaan melakukan kompromi dengan semua pemangku kepentingan. Ini karena demokrasimengakibatkan kecenderungan sistem interaksi yang terpencar (divergence) dan bukannya terpusat (convergence) seperti yang dikatakan dalam studi Hill (2005:105).
Konfigurasi politik di Indonesia kini telah dilengkapi dengan semua ciri dasar bagi sebuah demokrasi. Pemilu yang bebas dan adil, kebebasan berpendapat dan berserikat, hak untuk memilih, adanya sumber informasi alternatif, hak bagi semua orang untuk menduduki jabatan publik, serta kelembagaan yang memungkinkan rakyat bisa mengontrol pemerintahan sebagai ciri-ciri demokrasi seperti dikemukakan oleh Dahl (1971:3) telah berlaku di Indonesia. Namun sebagai negara yang baru belajar berdemokrasi, banyak diantara perumus kebijakan strategis yang sebenarnya belum siap untuk menerapkan inti demokrasi (substantive democracy) karena sudah begitu lama terbiasa dengan sistem yang otoritarian. Salah satu tantangan yang berat di Indonesia ialah meyakinkan para perumus kebijakan agar tidak frustrasi dengan tatanan yang
demokratis lalu mengungkit nostalgia masa lalu ketika semuanya serba pasti dan dapat diduga. Proses perumusan kebijakan yang demokratis memang memerlukan kerja keras untuk menciptakan sebuah konsensus, tetapi itu bukan berarti bahwa solusinya adalah kembali ke cara-cara yang tidak demokratis. Namun Sebagian besar parpol juga dinilai tidak memiliki basis sosial yang jelas dan spesifik. Tak hanya itu, dari sisi komitmen, parpol dipandang hanya bekerja menjelang pemilu dan "tidur panjang" di antara dua pemilu sehingga tak terbangun format relasi yang melembaga dengan konstituen. Ada pula problem institusionalisasi dan representasi.

Sabtu, 04 Juni 2011

passive voice

kalimat pasif (passive voice) adalah kalimat dimana subject-nya dikenai pekerjaan oleh object kalimat. Active voice lebih sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan passive voice. Namun demikian, sering kita temukan passive voice di surat-surat kabar, artikel-artikel di majalah-majalah dan tulisan-tulisan ilmiah. Passive voice digunakan karena object dari active voice merupakan informasi yang lebih penting dibandingkan dengan subject-nya. 
Contoh : 

Active : We fertilize the soil every 7 months 
Passive: The soil is fertilized by us every 7 months


Beberapa contoh kalimat passive voice:

* The teacher enjoyed teaching the students (active)
The students enjoyed being taught by the teacher (passive)



* He will have met them before I get there tomorrow. (active)
They will have been met by him before I get there tomorrow. (passive)

* Don’t wait for me (active)
You are advised not to wait for me (passive)

Jumat, 03 Juni 2011

Nilai Kehidupan Proses Pembelajaran


Dalam pandangan J Sudarminta, pendidikan nilai-nilai kehidupan sebagai bagian integral kegiatan pendidikan pada umumnya adalah upaya sadar dan terencana membantu anak didik mengenal, menyadari, menghargai, dan menghayati nilai-nilai yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan perilaku sebagai manusia dalam hidup perorangan dan bermasyarakat. Pendidikan nilai akan membuat anak didik tumbuh menjadi pribadi yang tahu sopan-santun, memiliki cita rasa seni, sastra, dan keindahan pada umumnya, mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, bersikap hormat terhadap keluhuran martabat manusia, memiliki cita rasa moral dan rohani.
"Pendidikan nilai-nilai kehidupan tidak dapat berlangsung baik kalau tidak ditunjang keteladanan pendidik dan praksis sosial yang kontinu dan konsisten dari lingkungan sosial," katanya.
Sedangkan Tony Soehartono menyatakan, proses belajar-mengajar harus mencakup tiga ranah pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, konsep pendidikan di Indonesia cenderung mengarah pada ranah kognitif, sedangkan ranah afektif dan psikomotorik ditempatkan pada peran sekunder.
Dengan melihat kecenderungan itu, Yayasan Pengelola Pendidikan Jaya memberikan mata pelajaran budi pekerti, program pamong, dan program pelatihan motivasi.
"Pendidik secara terus-menerus harus diberi pemahaman bahwa nilai-nilai kehidupan tidak bisa begitu saja diajarkan, tetapi harus disertai keteladanan oleh pendidik itu sendiri,"
Multikulturalisme
 
Terkait pendidikan nilai, pakar sosiologi-politik Universitas Airlangga Surabaya, Daniel Sparringa menyampaikan pandangan tentang multikulturalisme yang merupakan sebuah formasi sosial yang membukakan jalan bagi dibangunnya ruang-ruang bagi identitas yang beragam, sekaligus jembatan yang menghubungkan ruang-ruang itu untuk sebuah integrasi.
Menurutnya, mempromosikan multikulturalisme merupakan upaya membangun kesadaran tentang pentingnya kelompok-kelompok etnis dan budaya memiliki kemampuan berinteraksi dalam ruang bersama. Untuk itu, diperlukan pendekatan pro-eksistensi yang menggeser pendekatan ko-eksistensi yang selama ini dianggap menjadi dasar multikulturalisme.
"Prinsip pro-eksistensi ditandai tidak saja oleh hadirnya kualitas hidup berdampingan secara damai, tetapi juga kesadaran untuk ikut menjadi bagian dari usaha memecahkan masalah yang dihadapi kelompok lain. Prinsip pro-eksistensi mengundang hadirnya nilai-nilai solidaritas sosial, empati sosial, dan humanisme," kata Daniel. (Adapted from Suara Pembaruan, 20 November 2006)
Secara substansi, pendidikan konsumen berorientasi pada pentingnya seorang konsumen memiliki pengetahuan dan keterampilan mengelola keuangan secara personal, bertindak untuk membuat keputusan membeli yang tepat, dan berpartisipasi sebagai warga masyarakat yang bijaksana. Dalam pendidikan konsumen terkandung nilai-nilai kehidupan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik sebagai konsumen harusnya sejak dini memiliki nilai-nilai kehidupan tersebut agar terhindar dari budaya konsumtif. Budaya konsumtif dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup dan dapat juga meluruhkan hubungan social.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan konsumen, penting dibudayakan secara bertahap dan berkelanjutan untuk menumbuhkembangkan kesadaran konsumen masyarakat menjadi pribadi yang berwatak. Oleh sebab itu, kegiatan pendidikan sebagai proses pembudayaan semestinya sarat akan pendidikan nilai. Terkait dengan itu pembelajaran di sekolah hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan melalui materi pelajaran yang disampaikan oleh para guru. Guru perlu mengenal dan menerapkan strategi pembelajaran nilai yang sesuai dengan arti kata value, yaitu a) value identification, b) activity, c) learning aids, d) unit interaction, dan e) evaluation segment. Kelima strategi tersebut dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik berdasarkan tahapan pendidikan karakter, sehingga guru dimungkinkan dapat menerapkan strategi tersebut secara kolaboratif. Penerapan pendidikan nilai kehidupan perlu dilakukan secara holistic dan didesain dalam proses pembelajaran yang menyenangkan.

Partai Politik



 

InfoPartai adalah situs direktori partai politik yang ada di seluruh Indonesia, yang disajikan dalam bentuk searchable database. Di samping itu InfoPartai juga menyajikan berita-berita politik yang aktual serta arsip undang-undang dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan politik, pemilu, pilkada dan partai politik secara umum
Sejak pemilihan umum yang pertama kali pada tahun 1955, Indonesia telah mengalami pasang surut demokrasi dalam sistem kepartaian. Perubahan sistem yang multidimensi seperti ini telah menjadikan perubahan peta kekuatan politik baik di pusat maupun di daerah, yang menuntut adanya suatu pembaharuan dalam sistem politik agar lebih terbuka dan demokratis sesuai dengan harapan terciptanya suatu kestabilan politik yang dinamis.
Dilihat dari perkembangan partai politik, awal berkembangnya partai yaitu dari kegiatan kelompok-kelompok di luar parlemen, kemudian dengan meluasnya hak pilih mereka mengelompokan diri menurut aliran atau ajaran yang bersumber dari hasil pemikiran seseorang (doktrin). Kelompok-kelompok ini kemudian menamakan dirinya sebagai partai politik. Kelompok-kelompok ini meluaskan gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah dipihak lain. Partai politik umumnya dianggap sebagai perwujudan (manifestasi) dari suatu sistem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasi diri.

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur tentang partai politik di Indonesia, menyatakan bahwa partai politik tidak hanya dibentuk oleh lima puluh orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun. Akan tetapi pembentukannya dinyatakan dalam bentuk keputusan akta notaris, dan di dalamnya memuat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta kepengurusan baik tingkat pusat, wilayah, maupun di daerah harus terdaftar dalam keputusan Departemen Kehakiman, khususnya dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi yang mengatur putusan partai politik.
Kehadiran partai politik (parpol) diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Fungsi partai politik sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik adalah sebagai sarana partisipasi politik. Fungsi tersebut jika dilaksanakan dengan baik oleh partai politik, maka tertib sosial akan terjamin. Dengan demikian segenap lapisan dan golongan yang ada dalam masyarakat dapat membangun diri dan merealisasikan cita-cita mereka karena aspirasi masyarakat dapat tersalurkan dengan baik.
Partai politik merupakan salah satu sarana untuk berperan serta atau untuk berpartisipasi dalam mengaspirasikan suara rakyat. Partai Gerakan Indonesia Raya yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Partai Gerindra adalah salah satu partai peserta pemilu baik di pusat maupun daerah di seluruh Indonesia. Kiprah Partai Gerindra sebagai partai politik debutan pada tahun 2009 yaitu ingin memberikan perubahan bagi negeri ini.
Partisipasi politik pada hakekatnya sebagai ukuran untuk mengetahui kualitas kemampuan partai politik dalam menginterpretasikan sejumlah visi dan misi partai ke dalam simbol-simbol pribadi. Pada tingkat provinsi, Partai Gerindra memberikan wewenang pada DPD Partai Gerindra Provinsi Jawa Barat dalam menjalankan tugas dan fungsi Partai Gerindra dalam menjalankan tugas dan fungsi Partai Gerindra.
Pada dasarnya penyampaian visi misi Partai Gerindra merupakan sub sistem dari sistem komunikasi politik partai, yang mempunyai peranan penting dalam partai politik dan pembangunan kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya kepada Partai Gerindra. Hal ini yang diterapkan oleh DPD Partai Gerindra Provinsi Jawa Barat di bidang pelayanan administrasi kepartaian, peningkatan kesadaran penduduk akan haknya untuk berperan serta dalam menyampaikan aspirasinya, pemenuhan data statistik kependudukan dan statistik peristiwa kependudukan, dukungan terhadap perencanaan orientasi visi dan misi partai secara nasional, regional dan lokal, dan dukungan terhadap pembangunan sistem administrasi keanggotaan partai guna meningkatkan pemberian pelayanan publik tanpa diskriminasi.
Sumber daya manusia merupakan faktor sentral dalam suatu partai politik. Apapun bentuk serta tujuannya, partai politik dibuat berdasarkan visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola oleh manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan partai politik